Pertanyaan : Saya ingin bertanya pada Ustadz.
Adakah Nabi Idris, Nabi Ilyas, Nabi Khidir, dan Nabi Isa masih hidup? Mohon Ustadz jelaskan mengenai persoalan ini.
Terima kasih.
Jawaban :
Fenomena ini termasuk tema debat yang kerap diperbincangkan masyarakat akar rumput (awam). Maklum saja, karena masyarakat kita umumnya baru mentas dari budaya animisme, sehingga masih sangat gandrung dengan hal berbau klenik. Kendatipun hegemoni teknologi sudah merebak luas, namun semangat mengupas kejadian ‘mistis’ tidak bisa ditinggalkan.
Keadaan akan menjadi ringan, ketika masyarakat bersedia untuk mengembalikan masalah aqidah ini kepada ulama dan merujuk kepada sumber berita yang mutlak benarnya, Alquran dan hadis. Akan tetapi sangat disayangkan, banyak masyarakat kita yang justru mencari jawaban hal yang berbau mistis dan misterius ini ke primbon atau kyai yang masih demen dengan klenik.
Apakah Nabi Khidir masih hidup?
Berikut kutipan keterangan Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar dalam buku beliau Ar-Rusulu war Risalat;
Sekelompok ulama berpendapat bahwa Khidir masih hidup dan belum mati. Dan terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan hal ini. Keberadaan pendapat belum matinya Nabi Khidir, telah membuka pintu munculnya berbagai khurafat dan kedustaan. Banyak orang yang menyalahgunakan pendapat ini dan mengaku pernah bertemu Nabi Khidir, dan beliau memberikan beberapa nasihat serta menyampaikan berbagai perintah. Kemudian mereka meriwayatkan berbagai cerita aneh tentang Nabi Khidir, dan berbagai berita yang diingkari secara logika yang sehat.
Kemudian, banyak ulama besar muhadditsin (ahli hadis) yang berpendapat lemahnya riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Khidir masih hidup. Di antara ulama hadis yang melemahkan riwayat ini adalah Imam Bukhari, Ibnu Dihyah, Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani. Alasan terkuat yang mereka sampaikan untuk membantah pendapat masih hidupnya Nabi Khidir:
Pertama, Tidak ada satu pun hadis yang shahih yang menyatakan Nabi Khidir masih hidup.
Kedua, Andaikan beliau masih hidup, tentu diwajibkan bagi beliau untuk mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti dakwah beliau, dan membantu dakwah beliau. Karena Allah telah mengambil janji dari para nabi sebelumnya, untuk beriman kepada Muhammad, membantu beliau, jika mereka berjumpa dengan zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman,
وإذ أخذ الله ميثاق النَّبيين لما آتيتكم من كتابٍ وحكمةٍ ثُمَّ جاءكم رسولٌ مصدقٌ لما معكم لتؤمننَّ به ولتنصرنَّه قال أأقررتم وأخذتم على ذلكم إصري قالوا أقررنا قال فاشهدوا وأنا معكم من الشَّاهدين
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan, bahwa andaikan Musa masih hidup, tentu beliau akan mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
فَإِنَّهُ لَوْ كَانَ مُوسَى حَيًّا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ، مَا حَلَّ لَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي
“Sesungguhnya, andaikan Musa masih hidup di tengah-tengah kalian, tidak halal bagi beliau selain harus mengikutiku.” (HR. Ahmad, 14631)
Ibrahim Al-Harbi pernah bertanya kepada Imam Ahmad, apakah Nabi Khidir dan Nabi Ilyas masih hidup, keduanya masih ada dan melihat kita serta kita bisa mendapatkan riwayat dari mereka berdua.
Kemudian Imam Ahmad menjawab:
من أحال على غائب لم ينصف منه، وما ألقى هذا إلا الشيطان
“Siapa yang menekuni masalah ghaib (klenik), dia tidak akan bisa bersikap proporsional dalam masalah ini. Tidak ada yang membisikkan berita ini kecuali setan.”
Imam Bukhari juga pernah ditanya, apakah Nabi Khidir dan Ilyas masih hidup? Beliau menjawab:
Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لا يبقى على رأس مائة سنة ممن هو على وجه الأرض أحد
“Tidak akan tersisa seorang-pun di muka bumi ini pada seratus tahun yang akan datang.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 4:337)
Sebagian ulama ahli tahqiq memberikan keterangan yang agak panjang lebar untuk membantah alasan pendukung khurafat terkait Nabi Khidir. Di antaranya adalah Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah (1:326), Muhammad Amin As-Syinqithi, dalam tafsir beliau Adwaul Bayan (4:184). Bahkan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani membuat satu risalah khusus yang berjudul: Az-Zahr An-Nadhr fi Naba-i Al-Khidr, yang dicetak dalam kumpulan risalah mimbariyah (2:195).