Penyimpangan berupa kesyirikan dan bid'ah yang tersebar di kalangan tarekat Sufi membuat gundah hati Buya Hamka. Oleh karenanya, Buya Hamka menulis buku Tasawuf Modern. Mengapa dinamakan Tasawuf? Bukankah hal itu bid'ah? Nah, disinilah letak kecerdikan Buya Hamka. Buya Hamka menamakan bukunya sebagai "buku Tasawuf" agar orang-orang yang mengaku Sufi mau membaca buku karangan beliau.
Isi dari buku tersebut adalah pemurnian kembali ajaran tasawuf dari hal-hal yang berbau bid'ah dalam agama. Jadi, hakikat sebenarnya dari buku tersebut adalah Tasawuf ala Salafi/Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim, yakni merujuk kepada istilah Tazkiyatun Nafs atau penyucian jiwa. Buya Hamka berkata:
Kita banyak mengenal Ibnu Taimiyah karena membaca buku-buku Ibnul Qayyim yang sangat banyak, mengenai berbagai soal. Kedua beliau pun menyukai Tasawuf, tetapi sangat menentang akan paham Ibnu 'Arabi. Karangan Ibnu Taimiyah "At-Tawassul wal Wasillah" menentang sekeras-kerasnya praktek membesar-besarkan kubur yang rupanya sudah sangat merusak kepercayaan sejak Abad ke-7 itu."
Sumber: Perkembangan & Pemurnian Tasawuf, Hal. 265-266, Republika Penerbit, Cet.1, 2016.
"Kita namai "Tasawuf", ialah menuruti maksud tasawuf yang asli, sebagaimana kata Junaid tadi. Yaitu: "Keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji." Dengan tambahan keterangan "Modern". Kita tegakkan kembali maksud semula dari tasawuf, yaitu membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi; menekankan segala kelobaan dan kerakusan memerangi syahwat yang lebih dari keperluan untuk kesejahteraan diri."
Sumber: Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 7-8, Republika Penerbit, Cet.3, 2015.
FAKTA 11: MEMBANTAH TASHAWWUF ALA BID'AH
Selain mengajarkan penyucian jiwa ala Salafi yang dibungkus dengan nama Tasawuf Modern. Buya Hamka membantah keras tarekat sufi yang senang membuat bid'ah dalam agama. Beliau berkata:
"Maka, datanglah ahli-ahli tasawuf membuat berbagai dzikir ciptaan sendiri, yang tidak berasal dari ajaran Allah dan Rasul. Ada dzikir yang hanya membaca Allah saja berkali-kali dengan suara keras-keras, bersorak-sorak sampai payah dan sampai pingsan. Ada dzikir yang huw saja. Karena kata mereka huwa yang berarti Dia, ialah Dia Allah itu sendiri. Kadang-kadang mereka adakan semacam demonstrasi sebagai menentang terhadap orang yang teguh berpegang kepada sunnah. Maka, dzikir-dzikir semacam itu adalah berasal dari luar Islam atau telah menyeleweng sangat jauh dari pangkalan Islam."
SUMBER: Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 652, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.
FAKTA 12: IBNU TAIMIYYAH DAN AQIDAH SALAFI
Buya Hamka termasuk orang yang mendukung penisbatan kepada Mazhab Salaf. Dalam tafsirnya, Buya Hamka mengutip perkataan Ibnu Taimiyyah:
"Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan Madzhab Salaf, menisbahkan diri kepadanya dan membanggakannya, bahkan wajib diterima semua itu darinya dengan kesepakatan ulama. Karena sesungguhnya Madzhab Salaf adalah haq." (Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa 4/149). "Maka serulah Allah dalam keadaan memurnikan agama kepada-Nya." (pangkal ayat 14). Aqidah (kepercayaan), ibadah (perhambaan dan persembahan), syariah (peraturan dan tata cara) yang dilakukan hendaklah murni, ikhlas kepada Allah."
SUMBER: Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 87, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.
Buya Hamka menguraikan berbagai pendapat dari tokoh-tokoh Islam. Akan tetapi Buya Hamka sendiri mengikuti Mazhab Salafi dalam memahami Nama-nama dan Sifat Allah (Tauhid Asma was Shifat) sebagaimana beliau tegaskan pada Mukadimah Tafsir Al Azhar. Di lain kesempatan, Buya Hamka juga menguraikan tuduhan dusta yang dialamatkan kepada Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata:
"Madzhab yang dianut oleh penafsir ini adalah Madzhab Salaf, yaitu Madzhab Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau serta ulama-ulama yang mengikuti jejak beliau. Dalam hal aqidah dan ibadah, semata-mata taslim, artinya menyerah dengan tidak banyak tanya lagi."
Sumber: Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 38, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.
"Di antara ulama mutaakhirin yang keras menganut paham salaf ini adalah Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim pada zaman terakhir adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan terakhir sekali adalah Sayyid Rasyid Ridha. Ibnu Taimiyah sampai dituduh oleh musuh-musuhnya berpaham "mujassimah" (menyifatkan Allah bertubuh) karena kerasnya mempertahankan paham ini."
Sumber: 1001 Soal Kehidupan, Hal. 34-35, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.