Ciri-ciri dakwah Salafi/Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah menentang keras adanya pebuatan mengada-ada, baik menambah, mengurangi, mengubah ajaran agama. Hal ini sangat ditekankan sekali oleh Buya Hamka. Buya Hamka resah melihat fenomena masyarakat yang sibuk dengan amal ibadah yang tidak mempunyai dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Buya Hamka berkata:
"Sumber agama, sebagai yang diserukan pada ayat ini sudah tegas sekali, yaitu peraturan dari Allah dan Rasul. Di luar itu, bid'ah namanya. Segala perbuatan bid'ah itu nyatalah tidak bersumber dari pengetahuan dan tidak dari petunjuk (hidayah Ilahi). Kalau sudah ditambah karena taqlid maka sifat keadaan agama itu akan berubah sama sekali. Dinamai suatu agama baru dengan nama Islam, padahal ia sudah jauh dari Islam. Di negeri kita ini banyak jahiliyyah ditimbulkan atau dibangkit-bangkitkan oleh penguasa sendiri, dijadikan tradisi yang menyerupai ibadah, dan orang yang menegurnya sebab tidak berasal dari agama, akan balik dimarahi orang. Inilah akibatnya orang tidak senang kalau Syari'at Islam yang berasal dari Allah dan Rasul dijalankan."
Sumber: Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 55-57, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.
FAKTA 5: AYAH BELIAU ADALAH WAHABI
Buya Hamka juga pernah bercerita tentang Ayah beliau, Haji Abdul Karim Amrullah. Buya Hamka mengisahkan tentang hubungan baik yang terjalin antara Ayahnya dengan KH Ahmad Dahlan. Buya Hamka mengatakan bahwa KH Ahmad Dahlan adalah pembaca setia surat kabar Wahabi yang rutin diterbitkan oleh Ayahnya. Buya Hamka berkata:
"Kiai-kiai di Yogya kata K.H.R. Hajid tahu bahawa K.H.A. Dahlan menjadi pembaca setia "Al-Munir", surat kabar kaum Wahabi di Padang. Setelah saya mendengar riwayat hubungan rohani K.H.A. Dahlan dengan Al-Munir, yang terbit pada Tahun 1911 itu dan dengan rasmi Muhammadiyah berdiri pada Tahun 1912, dapatlah saya memahami cerita Ayahku kepadaku yang kerap kali diulang-ulangnya, bahawa ketika beliau di tanah Jawa pada Tahun 1917, dia singgah di Yogya dalam perjalanannya kembali ke Jakarta dari Surabaya.Beliau bercerita bahawa di dadanya ditempelkan huruf-huruf Arab H.A.K.A. (Haa, Ain, Kaaf, Hamzah), sehingga seketika K.H.A. Dahlan datang ke stesen Tugu menjemputnya, segera beliau dapat mengenal Ayahku, sebagai wakil Al-Munir. Beliau di Yogya 3 hari menjadi tamu K.H.A. Dahlan. Kata Ayahku (Haji Abdul Karim Amrullah -red): "Dengan tawaduknya K.H.A. Dahlan meminta izin hendak menyalin karangan-karangan beliau ke dalam bahasa Jawa, untuk diajarkan kepada murid-muridnya." Dan dengan segala rendah hati pula beliau membenarkannya dan menyuruh tambah mana yang kurang."
Sumber: Ayahku, 159-161, PTS Publishing House Malaysia, 2015.
FAKTA 6: BERAGAMA HARUS MENGERTI DALIL
Salah satu wasiat Buya Hamka adalah harusnya setiap Muslim untuk tahu cara agama yang benar. Dakwah Salafiyah menekankan bahwa setiap Muslim harus mempunyai ilmu agar tidak terjebak sikap fanatik golongan dan tradisi nenek moyang. Buya Hamka berkata ketika menafsirkan ayat:
""Dan janganlah engkau menurut saja dalam hal yang tidak ada bagi engkau pengetahuan padanya." (pangkal ayat 36). Ayat ini termasuk sendi budi pekerti Muslim yang hendak menegakkan pribadinya. Kita dilarang Allah menurut saja. "Nurut" menurut bahasa Jawa, dengan tidak menyelidiki sebab dan musabab. Qatadah menafsirkan kelemahan pribadi "Pak Turut" itu demikian,
"Jangan engkau katakan aku lihat, padahal engkau tak melihatnya. Aku dengar, padahal tak pernah engkau dengar. Saya tahu, padahal engkau tak tahu." Di awal ayat ini tersebut wa laa taqfu. Kata-kata taqfu ialah dari mengikuti jejak. Kemana orang pergi, kesana awak pergi. Kemana tujuan orang itu, awak tak tahu.
Di ujung ayat ditegaskan, "Sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati, tiap-tiap satu daripadanya itu akan ditanya." (ujung ayat 36). Terang disini bahwa orang yang hanya menuruti saja jejak langkah orang lain, baik nenek moyangnya karena kebiasaan, adat-istiadat dan tradisi yang diterima, atau keputusan dan ta'ashshub pada golongan, membuat orang tidak lagi mempergunakan pertimbangan sendiri. Padahal, dia diberi Allah alat-alat penting agar dia berhubungan sendiri dengan alam yang di kelilingnya. Dia diberi hati, atau akal, atau pikiran untuk menimbang buruk dan baik. Sementara itu, pendengaran dan penglihatan adalah penghubung di antara diri, atau di antara hati sanubari kita dan segala sesuatu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan mudarat dan manfaatnya, atau buruk dan baiknya. Dalam hidup beragama amat diperlukan penggunaan pendengaran, penglihatan, dan hati untuk menimbang. Sebab, kadang-kadang dipercampuradukkan orang amalan yang sunnah dengan yang bid'ah. Bahkan, kerap kejadian perkara yang sunnah tertimbun dan yang bid'ah muncul dan lebih masyhur. Maka wajiblah kita beragama dengan berilmu."
"Jangan engkau katakan aku lihat, padahal engkau tak melihatnya. Aku dengar, padahal tak pernah engkau dengar. Saya tahu, padahal engkau tak tahu." Di awal ayat ini tersebut wa laa taqfu. Kata-kata taqfu ialah dari mengikuti jejak. Kemana orang pergi, kesana awak pergi. Kemana tujuan orang itu, awak tak tahu.
Di ujung ayat ditegaskan, "Sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati, tiap-tiap satu daripadanya itu akan ditanya." (ujung ayat 36). Terang disini bahwa orang yang hanya menuruti saja jejak langkah orang lain, baik nenek moyangnya karena kebiasaan, adat-istiadat dan tradisi yang diterima, atau keputusan dan ta'ashshub pada golongan, membuat orang tidak lagi mempergunakan pertimbangan sendiri. Padahal, dia diberi Allah alat-alat penting agar dia berhubungan sendiri dengan alam yang di kelilingnya. Dia diberi hati, atau akal, atau pikiran untuk menimbang buruk dan baik. Sementara itu, pendengaran dan penglihatan adalah penghubung di antara diri, atau di antara hati sanubari kita dan segala sesuatu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan mudarat dan manfaatnya, atau buruk dan baiknya. Dalam hidup beragama amat diperlukan penggunaan pendengaran, penglihatan, dan hati untuk menimbang. Sebab, kadang-kadang dipercampuradukkan orang amalan yang sunnah dengan yang bid'ah. Bahkan, kerap kejadian perkara yang sunnah tertimbun dan yang bid'ah muncul dan lebih masyhur. Maka wajiblah kita beragama dengan berilmu."
Sumber: Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 288-289, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.